Ungkapan ini pertama kali aku dengar dari salah satu Kepala Sekolah di instansiku bekerja sekitar tahun 2005 dalam sebuah pertemuan keluarga yang rutin di laksanakan setiap sebulan sekali dan tempat pelaksanaannya secara bergilir di rumah masing-masing anggotanya. Saat itu, dalam lubuk hati yang terdalam aku mengakui kebenaran ungkapan itu. Akibat adanya berbagai kendala akhirnya pemaknaan dari ungkapan itu belum sampai menyentuh ke dasar hati. Yah, situasi dan kondisi dari para anggota ikatan keluargalah tentunya yang menjadi kendala utama. Bagaimana tidak? Kami yang sebagian besar adalah perantauan, keluarga baru, dan bekerjanya juga baru" minyik-minyik" sangat sulit untuk conec ke persoalan yang lebih ke jurusan spiritual. kami masih bergelut dalam urusan yang bersifat fisik lahiriah, misalnya : bagaimana memiliki rumah yang layak, bagaimana merawat dan membesarkan, serta mendidik anak, bagaimana menegakkan "kendhil" agar bisa makan agak layak. Sungguh kondisi yang memprihatinkan. Ya, .... Begitulah adanya.
Kini, hampir delapan tahun berlalu,.. terlalu bayak hal halyang terjadi dalam kehidupan setiap anggotanya, termasuk KS kami tersebut yang kini sudah menjadi guru biasa ( tak lagi sebagai KS ) dan menunggu waktu untuk pensiun. Kurasakan, .... Sebuah kebersamaan ( dan keterbukaan ) dalam suka dan duka sebagai sesama makhluk Allah SWT.. Salam sejahtera dan bahagia,..


Tidak ada komentar:
Posting Komentar